CERPEN "PEJALAN RINDU"


PejalanRindu

Apakah kamu ingin mati kedinginan, jatuh atau tersesat jika kamu terus melanjutkan perjalanan ini? Hujan yang tak kunjung reda dengan kabut tebal yang menyelimuti bukit ini membuat jarak pandang tidak lebih dari setengah meter. Perdebatan panas membuatku tak merasakan dinginnya ketinggian seribu lima ratus meter diatas permukaan laut. “Kamu harus memahami kondisi seperti ini.” Dengan nada membentak dan raut muka yang memerah kata itu terlontar dari mulut Yogi. Mendengar perkataan itu aku hanya tersenyum dan berkata,“Aku akan terus melanjutkan perjalanan ini, sebab perjalanan tidak akan ada artinya jika kamu mundur ditengah jalan.”

Ting….! Sebuah pesan masuk di hanphone ku. Aku yang sedang mengerjakan tugas kuliah langsung mengambil handphone sembari mengusap mata yang sudah letih didepan layar laptop seharian. Pesan itu berasal dari teman sepegiat alam ku yang bernama Yogi, “Bang Rohul, ayok kita pergi muncak ke bukit akhir pekan ini.” Membaca pesan itu sontak membuat ku merasa senang, karena ingin menyegarkan otak dari penderitaan anak Fakultas Teknik. Tanpa berpikir panjang aku langsung menyetujui ajakan itu, “Ayok gii, ke bukit mana nih? Sama siapa aja?” Tanya ku. “kita ke bukit Savana daun-daun bang, bareng temanku ada dua orang.” Balesnya. Bukit Savana daun-daun, seingat ku pernah mendengar cerita dari seorang  teman ku kalau bukit itu tidak ada menariknya dan menyarankan lebih baik jagan kesana, tapi aku menghiraukannya karena menurutku puncak itu adalah bukan hal terpenting dalam sebuah pendakian tapi bagaimana perjalanan untuk menggapainya itu yang lebih penting.

Pagi itu aku langsung bergegas menyelesaikan tugas kuliah kemudian mengambil alat-alat pendakian di gudang yang sudah berdebu karena lama tidak terpakai. Aku kepikiran untuk mengajak juga teman kampusku yang bernama bang Dody, dia adalah kakak tingkatku di sebuah Universitas yang ada di Mataram. Meskipun beda jurusan, namun lagi-lagi alamlah yang mempertumkan ku dengan dia. Selagi mengemasi barang-barang yang akan dibawa aku menghubungi bang Dody melalui pesan, “Bang ayok muncak besok.” Ajak ku. Berselang beberapa menit dia baru membalas, “Ayok bang gas ajak.” Ujarnya. Setelah berbincang-bincang dengan bang Dody kita sepakat untuk mendaki besok pagi bersama dengan Yogi dan dua orang temannya, aku pun memutuskan untuk menginap dan mempersiapkan pendaikan itu dirumah bang Dody.

Perjalanan kali ini sedikit berbeda dari biasanya karena sangat mendadak, namun dengan tekad yang kuat dan bekal management perjalanan yang aku pelajari di organisasi mahasiswa pecinta alam membuatku tetap percaya diri untuk melakukan pendakian ini. Brem…! Suara motor Vega R yang sedang dipanaskan bersiap untuk menemani perjalanan kali ini,  jam sudah menunjukaan pukul lima sore aku lansung tancap gas menuju rumah bang Dody. Dengan pakaian biasa yang tidak terlihat seperti orang mau mendaki  membuat orang-orang sekitar rumah tidak tahu kalo aku akan bergelut dengan alam bebas dan menantang maut.

Sejam perjalan aku baru sampai rumah bang Dody, perjalanan yang seharusnya cuman tiga puluh menitan menjadi begitu lama karena aku tersesat, tapi itu adalah hal yang sudah biasa dalam sebuah perjalanan. Tersesat akan membuat mu menemukan hal baru yang tidak pernah kamu cari tahu atau ingin tahu. Dirumah bang Dody kami membahas kesiapan untuk pendakian besok pagi, malam itu  disuguhkan kopi dan rokok membuat obrolan begitu seru, becanda dan bernyanyi diiringi petikan gitar yang aku mainkan. Obrolan mulai serius  katika aku mengetauhi bang Dody adalah orang sastra yang menyuaki ilmu filsafat. Banyak sudah yang kami bahas mulai dari teori atom Dalton, buku terakhir Stephen Hawking yang berhudul jawaban singkat atas pertanyaan besar, hingga konsep bumi bulat yang dikemukakan oleh pythagoras. Habisnya rokok malam itu sebagai alarm untuk sudah waktunya tidur, benar saja ketika melihat jam ternyata jarum jam sudah menunjukkan  angka satu.

DOR! DOR! Aku yang baru setengah sadar mendengar suara gebrakan pintu, ternyata itu bapaknya Dody yang membangunkan kami untuk sholat shubuh. Dengan rasa ngantuk yang berat kami mengiyakan seruan bapaknya Dody, setelah itu kami lanjut tidur lagi. Bau masakan yang begitu lezat menyadarkan kami dari alam mimpi, ayam goreng dan sayur kelor menjadi santapan sarapan kami pagi itu. Kring….Kring… bunyi telepon disaku ku. yogi menelpon “ Halo bang, udah jam setengah sembilan ini kita ketemu dipertigaan jalan dekat mushola.” Mendangarnya Aku dan bang Dody buru-buru mandi dan bersiap-siap untuk berangkat. Aku yang tengah merapikan keril mendangar suara bang Dody yang memanggilku.“ Bang ayok cepetan kita akan jalan.” 

Tas keril yang besar  berlabuh dipunggungku, sepatu gunung, dan topi rimba yang ku kenakan menandakan aku telah siap memasuki lembah hutan belukar yang liar. Kami berjalan menuju tempat yang sudah diberitahu oleh Yogi,  sesampai disana aku melihat dua orang kembar yang sedang memopang tas besar, tidak lain itu adalah Yogi dia bersama saudara kembarnya yang bernama Yoga. “ Gii kok kita cuman berempat ini satu orang lagi mana? Tanya ku. “ oooh iya satu lagi temen ku udah nunggu di Rarang nanti ketemunya disuper market sana  sekalian kita beli logistik.” jawab yogi.

Berangkat dari Lombok tengah menuju base camp pendakian sekitar satu jam setengah, dalam  perjalanan kali ini yang Aku takutkan cuman satu yaitu cuaca yang ekstrim. Kami berhenti disebuah super market tempat dimana temennya yogi menunggu kami. “Bayan…bayan” Suara yogi berteriak, pandangan ku langsung mengarah ke orang yang sedang duduk diatas motor scopy dengan jaket hitam, dia merespon panggilan dari Yogi. “ Wee yogi sini dah lama aku tungguin.” Saut Bayan sambil melambaikan tangannya. Nama temennya itu adalah Bayan, dengan ini tim kami sudah lengkap lima orang, kami berlima patungan untuk membeli logistik makanan, Aku dan bang Dody masuk ke super market membeli semua kebutuhan selama perjalan. Aku, Yogi, Dody, Yoga dan Bayan, perjalanan kami berlima dimuali dari sini. 

Kami berlima brefing dan tidak lupa berdoa untuk keselamatan perjalanan ini sesuai keyakinanan masing-masing. Karena tidak ada yang bisa menjamin keselamatan mu kecuali Tuhan. Kami berlima berangkat menuju base camp pendakian, cuaca pagi itu sangat cerah, di tengah perjalanan temen kuliah ku menelpon dan memberi tahu bahwa saat itu ada technical meeting praktikum, yang menandakan bahwa praktikum akan dimualai. Pikiran ku terpecah ketika mengetahui praktikum ku akan di mulai hari senin, tapi aku mencoba untuk tidak memikirkannya dan menikmati perjalanan ini. Masalah akan terus datang kepadamu selagi kau masih hidup di dunia ini, dan kau akan menjadi lebih dewasa jika dapat menyelesaikan dan mengambil pelajaran dari masalah yang kamu hadapi.

Kami berhenti di rest area Suela, tempat itu sudah biasa dijadikan tempat peristirahatan untuk para pendaki. Disana kami beristirahat ngopi sambil merokok, kami berlima bercanda bareng seolah sudah seperti orang yang berteman lama, seringkali aku bingung membedakan antara Yogi dan Yoga, bagai pinang yang dibelah dua mereka sangat mirip. “Onamaehanandesuka?”  Ucap Yogi menyombongkan bahasa Jepangnya, “Watashinonamaeha Bayandesu.” Jawab Bayan. Mereka berdua adalah seorang mahasiswa keperawatan yang sedang belajar bahasa Jepang dikampusnya, Aku yang tidak mengerti apa yang mereka omongkan ikut nimbrung. “Cing hau ceq pok lam hee.” Layaknya orang asing. Sontak semua yang mendengar itu langsung tertawa terbahak-bahak, sampai-sampai tukang parkir yang sedang meniup pluitnya ikut terawa.

Setelah beristirahat cukup lama, kami melanjutkan perjalanan menuju base camp pendakian. Memasuki kawasan hutan Sembalun, langit yang tadinya biru cerah kini telah ditutupi awan hitam cumolunimbus, gemuruh Guntur sesekali mengagetkan ku. Hujan mulai turun tapi kami tetap melanjutkan perjalanan, hujannya semakin besar memaksa kami berhenti sejenak untuk memakai jas hujan. Jalan yang menanjak dan licin membuat kecepatan motor kami hanya mentok di 20 km/jam.  Jalanan tertutup oleh kabut  membuat tak henti-hentinya suara kelakson kami berbunyi bak seperti iringan drum band sekolah.

Kami sampai di base camp dengan raut wajah yang kedinginan, hujan yang tak ada hentinya memadamkan semangat kami. Kami memutuskan untuk menunggu hujan reda baru melakukan pendakian, tiga puluh menit  kami menunggu hingga akhirnya hujan reda. Kami langsung bergegas untuk melakukan registrasi pendakian, barang bawaan kami diperiksa satu-persatu untuk memastikan keamanan dan tidak membawa barang-barang yang dapat berpotensi merugikan diri dan orang lain selama pendakian.

Kami memulai pendakian pukul tiga siang dengan perediksi estimasi waktu perjalanan menuju puncak adalah satu jam. “Satu jam perjalanan?” Tanya ku seolah tak percaya, “Iya benar.” Jawab penjaga base camp yang wajahnya mirip sekali dengan teman rumahku bernama Subhan. Satu jam perjalan tentu saja terasa enteng bagi ku yang anak Mahasiswa pecinta alam dan sudah turun naik gunung Rinnjani sebanyak lima kali, namun tidak peduli sepengalaman apapun kamu ketika sudah ditengah hutan resiko itu akan tetap ada.

  Tiga puluh menit kami berjalan tiba-tiba hujan turun tanpa memberikan aba-aba, Aku dengan cepat mengenakan jas ujan plastik yang biasa ku gunakan saat naik gunung, begitu juga dengan empat orang teman ku yang dengan sigap telah menggunakan jas hujannya. Kami terus berjalan, namun cuaca semakin ekstrim, hujan yang sangat deras, kilatan petir yang disusul dengan gemuruh suara guntur ditambah lagi dengan kabut tebal yang menghalangi pandangan kami lemgkap sudah penderitaan pendakian kami kali ini .

Dipunggungan bukit  yang diapit oleh jurang kami berlima mulai cemas, perbedaan pendapat diantara kami memicu perdebatan. “Apakah kamu ingin mati kedinginan, jatuh atau tersesat jika kamu terus melanjutkan perjalanan ini?” Tanya Yogi kepada ku. “Aku tidak ingin hal itu terjadi, tapi aku akan tetap melanjutkan perjalanan ini.” Tegasku. “Sudah-sudah mending kita tunggu sampai agak mendingan.” Saut bayan mencoba menangkan Aku dan Yogi.  Perdebatan panas membuatku tak merasakan dinginnya ketinggian seribu lima ratus meter diatas permukaan laut. “Kamu harus memahami kondisi seperti ini.” Dengan nada membentak dan raut muka yang memerah kata itu terlontar dari mulut Yogi. Mendengar perkataan itu aku hanya tersenyum dan berkata. “Aku akan terus melanjutkan perjalanan ini, sebab perjalanan tidak akan ada artinya jika kamu mundur ditengah jalan.”

Kami hanya punya dua pilihan melanjutkan perjalanan atau menunggu diatas tebing yang curam. “Sekarang kalian mau apa? Melanjutkan perjalanan ini yang tidak lebih dari dua puluh menit lagi atau hanya diam disini dengan resiko kalian hipotermia, terjatuh kejurang ini, bahkan tebing ini juga bisa ikut jatuh.” Tanya ku dengan tegas. Aku tidaklah egois, karena aku tau sebentar lagi kami sampai ketempat yang lebih landai dan bisa mendirikan tenda darurat disitu. Mereka berempat mengikuti ku untuk melanjutkan perjalanan, Aku langsung mengambil tali webing dan mengiktakan pada pinggang ku, kemudian aku memerintahkan untuk melakukan hal yang sama kepada Yoga, Yogi, Dody dan Bayan, dengan begitu kami semua terhubung dan berkaitan dengan tali tersebut untuk keselamatan kami berlima.

Aku berjalan perlahan diikuti oleh mereka berempat dibelakangku, lima belas menit berjalan melewati tebing yang curam kami sampai ditempat yang landai, disitu kami mendirikan tenda dan menghangatkan tubuh dengan secangkir minuman hangat. Setelah cukup lama hujan mulai reda dan langit cerah kembali, Yogi memutuskan untuk jalan terlebih dahulu bersama Yoga dan juga Bayan, sepertinya dia masih marah kepadaku setelah kejadian ditebing tadi. Aku dan bang Dody masih santai menikmati teh hangat dan kuaci sambil menatap alam dari ketinggian yang terlihat begitu segar setelah diguyur hujan.

Aku dan bang Dody kembali melanjutkan perjalanan, bang Dody yang sudah terlihat kelelahan membuat kami berdua berjalan perlahan sambil bersendagurai agar tidak merasakan lelah. Aku dan bang Dody terhenti disebuah persimpangan jalan, dari petunjuk jalan yang ku baca lurus untuk ke puncak dan kanan ke savanna. “Bang kira-kira mereka bertiga camp dimana? Puncak atau savanna?” Tanya ku kepada bang Dody. Bang Dody yang tidak mendengarkan tetap berjalan lurus kearah puncak dan Aku pun mengikutinya.

Kring….kring…! Handphone ku Kembali berdering, Aku terheran tenyata di dekat puncak masih ada sinyal. “ Halo bang.” Suara Yogi, “ Iya gii kenapa? Ni bentar lagi nyame kok.” Sautku dengan nada yang merayu, “Sampai mana bang?” Yogi kembali bertanya, “Puncak lah pakai ditanya segala.” Jawab ku, “Salah bang kita camp di savananya.” Kata Yogi. Aku memberi tahu bang Dody kalau kita salah jalur  harusnya ke Savana bukan puncak, kami berdua terpaksa turun lagi namun karena top puncak dikit lagi Aku memilih untuk naik dan menyuruh bang Dody untuk menunggu ku.

Sesampainya dipuncak aku melihat seorang wanita yang duduk sendiri bersandar di sebuah pohon cemara, dari kejauhan pancaran wajahnya bersinar membuat ku terpesona. Aku menghampirinya dan bertanya. “Permisi mbak, kok sendirian ajak?” Dia menjawab “Iya nih bang aku lagi nunggu rombongan ku.” jawabnya dengan nada halus. Aku langsung menyimpulkan bahwa dia sama sepertiku salah jalur dimana harusnya ke Padang Savana.

Setelah panjang lebar ngobrol ternyata nama cewek itu adalah Nindi. Gadis manis berkulit putih dengan rembut pirangnya membuat ku jatuh hati pada pandangan pertama. Entah apa yang membuat kami berdua begitu akrab dan obroloan kami selalu nyambung. Nindi adalah seorang mahasiswa baru jurusan kedokteran. Sosok yang begitu cantik, ramah, pintar dan cerdas itulah yang aku simpulkan darinya. Berbincang cukup lama dengan Nindi aku sampai lupa dengan bang Dody yang sedang menungguku, Aku pun menjelaskan ke Nindi bahwa dia salah jalur sama sepertiku, dia pun terkejut karena dia sudah lama menunggu.

Aku dan Nindi turun dari top puncak menuju Padang Savana daun-daun tempat dimana seharusnya kami ngecamp. Diperjalanan dia tiba-tiba menggandeng tanganku, aku yang juga menginginkan itu terjadi meresponmya dengan mengenggam tangan Nindi lebih erat. Sepanjang jalan kami bergandengan, tertawa bersama layaknya orang pacaran. Sesekali Nindi  berlari kecil didepan ku, melihat hal itu mengingatkan ku akan kenangan masa lalu, membangkitkan rasa yang telah terkubur lama, perasaan yang ku rasakan ketika bersama Nindi tidak bisa ku ungkapkan dengan kata-kata.

Sebentar lagi kami berdua sampai ditempat bang Dody menunggu, Aku melihat rombongan pendaki berjalan mengarah ku. Itu adalah rombongan Nindi, mereka bertannya kenapa Nindi ikut turun bersamaku, Aku menjelaskan kalua seharusnya tempat ngecamp itu diSavana. Setelah rombongan Nindi berdiskusi, mereka memilih untuk camp dipuncak, dan artinya aku harus berpisah dengan Nindi. Nindi tidak bisa menolak kepustusan ketua rombongannya, Akupun mengerti apa yang dia rasakan. Kepentingan bersama tetaplah diatas segalanya ketika mendaki bersama.

Akupun harus berpisah dengan Nindi, rasa kesal dalam hati kecilku membuatku menendang apa yang ada didepanku. Pertemuan yang hanya sebentar namun akan begitu terkenang, aku berharap bisa bertemu di lain waktu bersama Nindi. Perpisahan memang menyakitkan, tapi percayalah pertemuan akan lebih menyenangkan. Aku turun dengan cepat menuju tempat bang Dody menungguku, “Bang sudah lama nunggu?” sapa ku sambil mengejutkan bang Dody. “Iya bang hull lama banget, kirain tersesat.” Jawab dody yang terkejut dengan kedatangan ku. “ Hahahah nggak lah bang, biasa ada view bagus yang sayang buat dilewatkan kan.” Kataku sambil tertawa.

Kami berdua melanjutkan perjalanan menuju Savana tempat Yogi, Yoga dan Bayan. Aku tidak menceritakan soal Nindi kepada bang Dody dan juga yang lainnya. Memendam bukan berarti merahasiakan, itu adalah hal yang menarik untuk diceritakan nantinya. Aku dan bang Dody sampai juga Savana, Yogi, Yoga dan bayan langsung menghampiri ku, mereka mengambil tenda  di keril ku dan mendirikannya. Sepertinya Yogi sudah tidak marah lagi, aku mengetahuinya ketika dia menyeduhkan secangkir kopi untuk ku. “Nih bang kopi hitung-hitung sebagai permintaan maaf ku.” ucap yogi yang menyodorkan cangkir ke arah ku. Aku menerimanya meski sebenarnya aku tak pernah marah kepada dia.

Tidak ada sunset untuk hari ini,  cahaya alam yang mulai redup menandakan malam akan segara tiba. Aku memerintahkan Dody dan Bayan untuk pergi mencari kayu bakar, sedangkan Yogi dan Yoga mengambil air, Aku menyiapkan makan malam untuk kami berlima. Nasi putih ditambah bakwan dengan kuahnya habis dalam hitungan detik oleh kami belima malam itu. Nyala api unggun menghangatkan candaan kami berlima, mendengarkan puisi yang berjudul pie susu dari bang Yogi, pantun cinta dari bang Dody dan tutorial memakan buah salak dari Bayan membuat kami tak hentinya tertawa.

Selagi kami berlima tengah asik didepan api unggun dengan permainan konyol yang kami mainkan, Aku melihat dua orang cewek yang tengah bertengkar. Aku mencoba mendekat dan menanyakan apa yang sedang terjadi. “Ada apa ni mbak?” Tanya ku, “Ini bang dia mau turun sekarang.” Jawab cewek itu sambil menunjuk temennya. Aku melihat jam tangan ku sudah jam sembilan yang tidak memungkinkan lagi untuk turun, dan aku menyarankan untuk diam dulu di tenda kami berlima dan mencoba menenangkannya. Cewek itu tetap bersikukuh untuk turun sendiri namun Aku dan Yogi berusaha merayu agar diam dulu di tenda kami.

Yogi berhasil membujuk cewek tersebut untuk tidak turun dan diam dulu ditenda kami. Yoga langsung mengeluarkan matras untuk cewek itu duduk dan Aku membuatkan dia secangkir teh hangat. Aku dan Yogi terus mengintrogasi cewek tersebut bahwa apa yang sedang terjadi, sedangkan Bayan mencoba menemui rombongan cewek tersebut. Nama cewek itu adalah Tata, dia kabur dari rombongannya karena ada masalah pribadi. Aku memberikannya teh hangat dan roti untuk dimakan, namun dia tidak mau dan terus menangis. Yogi terus menenangkannya, dengan ilmu keperawatannya dia berhasil menenangkan cewek itu.

Masalah datang ketika Tata mengalami gejala hipotermia, tubuhnya menggigil kedinginan dan nafas yang sesak. Aku langsung merespon dengan cepat, “Yoga ambil jaket di tasku pakein dia trus, Bayan besarin api unggun, Yogi paksa dia minum air hangat ini.” Ucapku dengan sigap. Mereka mengikuti semua intruksi ku dan Tata sudah kembali normal, Aku mencoba menghubungi pengelola bukit ini namun Tata tidak memperbolehkan kami berlima pergi. Dengan berpura-pura mau kencing, Aku berhasil menghubungi teman dari Tata dan menyuruhnya untuk menghubungi pengelola.

Aku sedikit kesal kepada cewek itu, dia tidak mau makan dan seolah tidak menghargai kami berlima yang menolongnya. Dia kembali bergejala hipo, Aku menyuruhnya masuk tenda dan menggunakan sleeping bag. Yogi yang masih sabar tetap berada di sisi Tata, bahkan dia yang meyuapinya makanan sehingga cewek tersebut mulai normal kembali. Sudah jam setengah dua belas dan kami berlima masih diluar tenda, Aku mencoba lagi menghubungi temannya dan menanyakan bagaimana dengan pengawasnya. Tentu saja aku mulai gelisah karena jika pengelola tak kunjung datang kami berlima harus rela tidur beralas rumput basah tanpa ada atapnya.

Tepat jam dua belas malam pengelola baru datang, aku memberitahu semua yang terjadi, akhirnya Tata dibawa oleh pengelola. Entah dibawa turun atau kembali ke rombongannya aku tidak peduli, yang terpenting kami berlima sudah  lega. Jujur saja kami ikhlas membantu, tapi cara dia dan sifatnya yang membuat kamk kesal. Malam itu dengan api unggun yang hanya menyisakan bara saja membuat kami mulai merasakan dinginnya malam. Aku yang begitu capek memilih masuk tenda dan beristirahat, Dody dan Bayan pergi ke tenda temannya sedangkan Yogi dan Yoga masih memperebutkan kue pia susu yang tinggal satu.

Sinar mentari yang menyialukan mata membangunkan ku pagi itu, membuka resleting tenda melihat begitu indahnya danau buatan yang ada di depan tenda kami. Pemendangan yang begitu indah pagi itu dengan padang savanna yang begitu hijau dihasi bunga berwarna kuning membuat ku begitu terkagum. Semua orang tengah asik mengabadikan momentnya, begitu juga dengan keempat teman ku itu, Aku juga ikut mengabadikan moment indah ini. Pagi itu tidak ada kegiatan lain yang kami lakukan kecuali berfoto. Setelah puas kami berlima sarapan dengan pop mie instan rasa kuah soto dengan minuman jeruk peras.

Kami turun jam 10 pagi, mengemasi barang dan memastikan tidak meninggalkan apapun selain jejak. Sesekali kami berhenti untuk berfoto di tengah jalan, mengingat kejadian semalam membuat kami tertawa kecil di jalan. Tidak terasa kami sudah sampai base camp pendakian, disitu kami beristirahat sambil menunggu motor dipanaskan. Kami langsung berangkat pulang tanpa berhenti diamanpun, satu persatu dari kami berpisah, pertama Bayan, disusul Yoga dan Yogi dan terakhir bang Dody karena aku kerumahnya untuk mengambil motor. Sesampai dirumah bang Dody aku beristirahat sebentar untuk mandi dan makan kemudian langsung lanjut pulang.

Perjalanan ku selesai ketika aku sampai dirumah. Semua kejadian yang aku alami diperjalanan begitu indah untuk dikenang. Bukit savana daun-daun menyimpan banyak cerita dan pengalaman yang tidak pernah dapat ku ulangi lagi. Aku rindu dengan semua itu, masakan ibunya Dody, candaan kami berlima, pertengkaran dengan Yogi, pertemuan dengan Nindi, puisi pia susu dari Yogi, pengajian umum dari Yoga, puisi cinta dari Dody dan tutorial makan buah dari Bayan. Aku merindukan semua itu, pejalan rindu savana daun-daun.

Tiada perjalanan tanpa cerita

Sabtu,06 maret 2021
Rohulencaks



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pejuang Muda Kabupaten Merauke

Seven Summit Indonesia, 7 puncak Tertinggi Di Indonesia