CERPEN "PEJALAN RINDU"
Apakah
kamu ingin mati kedinginan, jatuh atau tersesat jika kamu terus melanjutkan
perjalanan ini? Hujan yang tak kunjung reda dengan kabut tebal yang menyelimuti
bukit ini membuat jarak pandang tidak lebih dari setengah meter. Perdebatan
panas membuatku tak merasakan dinginnya ketinggian seribu lima ratus meter
diatas permukaan laut. “Kamu harus memahami kondisi seperti ini.” Dengan nada
membentak dan raut muka yang memerah kata itu terlontar dari mulut Yogi.
Mendengar perkataan itu aku hanya tersenyum dan berkata,“Aku akan terus melanjutkan
perjalanan ini, sebab perjalanan tidak akan ada artinya jika kamu mundur
ditengah jalan.”
Ting….!
Sebuah pesan masuk di hanphone ku. Aku yang sedang mengerjakan tugas kuliah
langsung mengambil handphone sembari mengusap mata yang sudah letih didepan layar laptop seharian. Pesan itu berasal dari teman sepegiat alam ku yang bernama
Yogi, “Bang Rohul, ayok kita pergi muncak ke bukit akhir pekan ini.” Membaca
pesan itu sontak membuat ku merasa senang, karena ingin menyegarkan otak dari
penderitaan anak Fakultas Teknik. Tanpa berpikir panjang aku langsung menyetujui
ajakan itu, “Ayok gii, ke bukit mana nih? Sama siapa aja?” Tanya ku. “kita ke
bukit Savana daun-daun bang, bareng temanku ada dua orang.” Balesnya. Bukit
Savana daun-daun, seingat ku pernah mendengar cerita dari seorang teman ku kalau bukit itu tidak ada menariknya
dan menyarankan lebih baik jagan kesana, tapi aku menghiraukannya karena
menurutku puncak itu adalah bukan hal terpenting dalam sebuah pendakian tapi
bagaimana perjalanan untuk menggapainya itu yang lebih penting.
Pagi
itu aku langsung bergegas menyelesaikan tugas kuliah kemudian mengambil alat-alat
pendakian di gudang yang sudah berdebu karena lama tidak terpakai. Aku
kepikiran untuk mengajak juga teman kampusku yang bernama bang Dody, dia adalah
kakak tingkatku di sebuah Universitas yang ada di Mataram. Meskipun beda
jurusan, namun lagi-lagi alamlah yang mempertumkan ku dengan dia. Selagi mengemasi
barang-barang yang akan dibawa aku menghubungi bang Dody melalui pesan, “Bang
ayok muncak besok.” Ajak ku. Berselang beberapa menit dia baru membalas, “Ayok
bang gas ajak.” Ujarnya. Setelah berbincang-bincang dengan bang Dody kita
sepakat untuk mendaki besok pagi bersama dengan Yogi dan dua orang temannya, aku
pun memutuskan untuk menginap dan mempersiapkan pendaikan itu dirumah bang Dody.
Perjalanan
kali ini sedikit berbeda dari biasanya karena sangat mendadak, namun dengan
tekad yang kuat dan bekal management perjalanan yang aku pelajari di organisasi mahasiswa pecinta alam membuatku tetap percaya diri untuk melakukan pendakian ini. Brem…! Suara motor
Vega R yang sedang dipanaskan bersiap untuk menemani perjalanan kali ini, jam sudah menunjukaan pukul lima sore aku
lansung tancap gas menuju rumah bang Dody. Dengan pakaian biasa yang tidak
terlihat seperti orang mau mendaki
membuat orang-orang sekitar rumah tidak tahu kalo aku akan bergelut
dengan alam bebas dan menantang maut.
Sejam
perjalan aku baru sampai rumah bang Dody, perjalanan yang seharusnya cuman tiga
puluh menitan menjadi begitu lama karena aku tersesat, tapi itu adalah hal yang
sudah biasa dalam sebuah perjalanan. Tersesat akan membuat mu menemukan hal baru
yang tidak pernah kamu cari tahu atau ingin tahu. Dirumah bang Dody kami membahas
kesiapan untuk pendakian besok pagi, malam itu
disuguhkan kopi dan rokok membuat obrolan begitu seru, becanda dan
bernyanyi diiringi petikan gitar yang aku mainkan. Obrolan mulai serius katika aku mengetauhi bang Dody adalah orang
sastra yang menyuaki ilmu filsafat. Banyak sudah yang kami bahas mulai dari teori atom Dalton, buku terakhir Stephen Hawking yang berhudul jawaban singkat atas pertanyaan besar, hingga konsep bumi bulat yang dikemukakan oleh pythagoras. Habisnya rokok malam itu sebagai alarm untuk sudah waktunya tidur, benar saja
ketika melihat jam ternyata jarum jam sudah menunjukkan angka satu.
DOR!
DOR! Aku yang baru setengah sadar mendengar suara gebrakan pintu, ternyata itu bapaknya
Dody yang membangunkan kami untuk sholat shubuh. Dengan rasa ngantuk yang berat
kami mengiyakan seruan bapaknya Dody, setelah itu kami lanjut tidur lagi. Bau
masakan yang begitu lezat menyadarkan kami dari alam mimpi, ayam goreng dan
sayur kelor menjadi santapan sarapan kami pagi itu. Kring….Kring… bunyi telepon
disaku ku. yogi menelpon “ Halo bang, udah jam setengah sembilan ini kita
ketemu dipertigaan jalan dekat mushola.” Mendangarnya Aku dan bang Dody
buru-buru mandi dan bersiap-siap untuk berangkat. Aku yang tengah merapikan
keril mendangar suara bang Dody yang memanggilku.“ Bang ayok cepetan kita akan
jalan.”
Tas
keril yang besar berlabuh dipunggungku,
sepatu gunung, dan topi rimba yang ku kenakan menandakan aku telah siap
memasuki lembah hutan belukar yang liar. Kami berjalan menuju tempat yang sudah
diberitahu oleh Yogi, sesampai disana
aku melihat dua orang kembar yang sedang memopang tas besar, tidak lain itu
adalah Yogi dia bersama saudara kembarnya yang bernama Yoga. “ Gii kok kita cuman
berempat ini satu orang lagi mana? Tanya ku. “ oooh iya satu lagi temen ku udah
nunggu di Rarang nanti ketemunya disuper market sana sekalian kita beli logistik.” jawab yogi.
Berangkat
dari Lombok tengah menuju base camp pendakian sekitar satu jam setengah,
dalam perjalanan kali ini yang Aku
takutkan cuman satu yaitu cuaca yang ekstrim. Kami berhenti disebuah super
market tempat dimana temennya yogi menunggu kami. “Bayan…bayan” Suara yogi
berteriak, pandangan ku langsung mengarah ke orang yang sedang duduk diatas
motor scopy dengan jaket hitam, dia merespon panggilan dari Yogi. “ Wee yogi
sini dah lama aku tungguin.” Saut Bayan sambil melambaikan tangannya. Nama
temennya itu adalah Bayan, dengan ini tim kami sudah lengkap lima orang, kami
berlima patungan untuk membeli logistik makanan, Aku dan bang Dody masuk ke
super market membeli semua kebutuhan selama perjalan. Aku, Yogi, Dody, Yoga dan
Bayan, perjalanan kami berlima dimuali dari sini.
Kami
berlima brefing dan tidak lupa berdoa untuk keselamatan perjalanan ini sesuai
keyakinanan masing-masing. Karena tidak ada yang bisa menjamin keselamatan mu kecuali Tuhan.
Kami berlima berangkat menuju base camp pendakian, cuaca pagi itu sangat cerah,
di tengah perjalanan temen kuliah ku menelpon dan memberi tahu bahwa saat itu
ada technical meeting praktikum, yang menandakan bahwa praktikum akan dimualai.
Pikiran ku terpecah ketika mengetahui praktikum ku akan di mulai hari senin, tapi
aku mencoba untuk tidak memikirkannya dan menikmati perjalanan ini. Masalah
akan terus datang kepadamu selagi kau masih hidup di dunia ini, dan kau akan
menjadi lebih dewasa jika dapat menyelesaikan dan mengambil pelajaran dari
masalah yang kamu hadapi.
Kami
berhenti di rest area Suela, tempat itu sudah biasa dijadikan tempat
peristirahatan untuk para pendaki. Disana kami beristirahat ngopi sambil
merokok, kami berlima bercanda bareng seolah sudah seperti orang yang berteman
lama, seringkali aku bingung membedakan antara Yogi dan Yoga, bagai pinang yang
dibelah dua mereka sangat mirip. “Onamaehanandesuka?” Ucap Yogi menyombongkan bahasa Jepangnya, “Watashinonamaeha
Bayandesu.” Jawab Bayan. Mereka berdua adalah seorang mahasiswa keperawatan
yang sedang belajar bahasa Jepang dikampusnya, Aku yang tidak mengerti apa yang
mereka omongkan ikut nimbrung. “Cing hau ceq pok lam hee.” Layaknya orang asing.
Sontak semua yang mendengar itu langsung tertawa terbahak-bahak, sampai-sampai
tukang parkir yang sedang meniup pluitnya ikut terawa.
Setelah
beristirahat cukup lama, kami melanjutkan perjalanan menuju base camp
pendakian. Memasuki kawasan hutan Sembalun, langit yang tadinya biru cerah kini
telah ditutupi awan hitam cumolunimbus, gemuruh Guntur sesekali mengagetkan ku.
Hujan mulai turun tapi kami tetap melanjutkan perjalanan, hujannya semakin
besar memaksa kami berhenti sejenak untuk memakai jas hujan. Jalan yang
menanjak dan licin membuat kecepatan motor kami hanya mentok di 20 km/jam. Jalanan tertutup oleh kabut membuat tak henti-hentinya suara kelakson kami
berbunyi bak seperti iringan drum band sekolah.
Kami
sampai di base camp dengan raut wajah yang kedinginan, hujan yang tak ada hentinya
memadamkan semangat kami. Kami memutuskan untuk menunggu hujan reda baru
melakukan pendakian, tiga puluh menit kami
menunggu hingga akhirnya hujan reda. Kami langsung bergegas untuk melakukan registrasi
pendakian, barang bawaan kami diperiksa satu-persatu untuk memastikan keamanan dan tidak membawa barang-barang yang dapat berpotensi merugikan diri dan orang
lain selama pendakian.
Kami
memulai pendakian pukul tiga siang dengan perediksi estimasi waktu perjalanan
menuju puncak adalah satu jam. “Satu jam perjalanan?” Tanya ku seolah tak
percaya, “Iya benar.” Jawab penjaga base camp yang wajahnya mirip sekali dengan teman
rumahku bernama Subhan. Satu jam perjalan tentu saja terasa enteng bagi ku yang
anak Mahasiswa pecinta alam dan sudah turun naik gunung Rinnjani sebanyak lima
kali, namun tidak peduli sepengalaman apapun kamu ketika sudah ditengah hutan
resiko itu akan tetap ada.
Tiga
puluh menit kami berjalan tiba-tiba hujan turun tanpa memberikan aba-aba, Aku
dengan cepat mengenakan jas ujan plastik yang biasa ku gunakan saat naik
gunung, begitu juga dengan empat orang teman ku yang dengan sigap telah
menggunakan jas hujannya. Kami terus berjalan, namun cuaca semakin ekstrim,
hujan yang sangat deras, kilatan petir yang disusul dengan gemuruh suara guntur
ditambah lagi dengan kabut tebal yang menghalangi pandangan kami lemgkap sudah penderitaan pendakian kami kali ini .
Dipunggungan
bukit yang diapit oleh jurang kami berlima mulai cemas, perbedaan pendapat
diantara kami memicu perdebatan. “Apakah kamu ingin mati kedinginan, jatuh atau
tersesat jika kamu terus melanjutkan perjalanan ini?” Tanya Yogi kepada ku.
“Aku tidak ingin hal itu terjadi, tapi aku akan tetap melanjutkan perjalanan
ini.” Tegasku. “Sudah-sudah mending kita tunggu sampai agak mendingan.” Saut
bayan mencoba menangkan Aku dan Yogi. Perdebatan panas membuatku tak merasakan
dinginnya ketinggian seribu lima ratus meter diatas permukaan laut. “Kamu harus
memahami kondisi seperti ini.” Dengan nada membentak dan raut muka yang memerah
kata itu terlontar dari mulut Yogi. Mendengar perkataan itu aku hanya tersenyum
dan berkata. “Aku akan terus melanjutkan perjalanan ini, sebab perjalanan tidak
akan ada artinya jika kamu mundur ditengah jalan.”
Kami
hanya punya dua pilihan melanjutkan perjalanan atau menunggu diatas tebing yang
curam. “Sekarang kalian mau apa? Melanjutkan perjalanan ini yang tidak lebih
dari dua puluh menit lagi atau hanya diam disini dengan resiko kalian
hipotermia, terjatuh kejurang ini, bahkan tebing ini juga bisa ikut jatuh.”
Tanya ku dengan tegas. Aku tidaklah egois, karena aku tau sebentar lagi kami
sampai ketempat yang lebih landai dan bisa mendirikan tenda darurat disitu.
Mereka berempat mengikuti ku untuk melanjutkan perjalanan, Aku langsung
mengambil tali webing dan mengiktakan pada pinggang ku, kemudian aku
memerintahkan untuk melakukan hal yang sama kepada Yoga, Yogi, Dody dan Bayan,
dengan begitu kami semua terhubung dan berkaitan dengan tali tersebut untuk
keselamatan kami berlima.
Aku
berjalan perlahan diikuti oleh mereka berempat dibelakangku, lima belas menit
berjalan melewati tebing yang curam kami sampai ditempat yang landai, disitu
kami mendirikan tenda dan menghangatkan tubuh dengan secangkir minuman hangat.
Setelah cukup lama hujan mulai reda dan langit cerah kembali, Yogi memutuskan
untuk jalan terlebih dahulu bersama Yoga dan juga Bayan, sepertinya dia masih
marah kepadaku setelah kejadian ditebing tadi. Aku dan bang Dody masih santai menikmati
teh hangat dan kuaci sambil menatap alam dari ketinggian yang terlihat begitu
segar setelah diguyur hujan.
Aku
dan bang Dody kembali melanjutkan perjalanan, bang Dody yang sudah terlihat
kelelahan membuat kami berdua berjalan perlahan sambil bersendagurai agar tidak
merasakan lelah. Aku dan bang Dody terhenti disebuah persimpangan jalan, dari
petunjuk jalan yang ku baca lurus untuk ke puncak dan kanan ke savanna. “Bang
kira-kira mereka bertiga camp dimana? Puncak atau savanna?” Tanya ku kepada
bang Dody. Bang Dody yang tidak mendengarkan tetap berjalan lurus kearah puncak
dan Aku pun mengikutinya.
Kring….kring…!
Handphone ku Kembali berdering, Aku terheran tenyata di dekat puncak masih ada
sinyal. “ Halo bang.” Suara Yogi, “ Iya gii kenapa? Ni bentar lagi nyame kok.”
Sautku dengan nada yang merayu, “Sampai mana bang?” Yogi kembali bertanya,
“Puncak lah pakai ditanya segala.” Jawab ku, “Salah bang kita camp di
savananya.” Kata Yogi. Aku memberi tahu bang Dody kalau kita salah jalur harusnya ke Savana bukan puncak, kami berdua
terpaksa turun lagi namun karena top puncak dikit lagi Aku memilih untuk naik
dan menyuruh bang Dody untuk menunggu ku.
Sesampainya
dipuncak aku melihat seorang wanita yang duduk sendiri bersandar di sebuah pohon
cemara, dari kejauhan pancaran wajahnya bersinar membuat ku terpesona. Aku
menghampirinya dan bertanya. “Permisi mbak, kok sendirian ajak?” Dia menjawab
“Iya nih bang aku lagi nunggu rombongan ku.” jawabnya dengan nada halus. Aku
langsung menyimpulkan bahwa dia sama sepertiku salah jalur dimana harusnya ke Padang Savana.
Setelah
panjang lebar ngobrol ternyata nama cewek itu adalah Nindi. Gadis manis
berkulit putih dengan rembut pirangnya membuat ku jatuh hati pada pandangan
pertama. Entah apa yang membuat kami berdua begitu akrab dan obroloan kami
selalu nyambung. Nindi adalah seorang mahasiswa baru jurusan kedokteran. Sosok
yang begitu cantik, ramah, pintar dan cerdas itulah yang aku simpulkan darinya.
Berbincang cukup lama dengan Nindi aku sampai lupa dengan bang Dody yang sedang
menungguku, Aku pun menjelaskan ke Nindi bahwa dia salah jalur sama sepertiku,
dia pun terkejut karena dia sudah lama menunggu.
Aku
dan Nindi turun dari top puncak menuju Padang Savana daun-daun tempat dimana
seharusnya kami ngecamp. Diperjalanan dia tiba-tiba menggandeng tanganku, aku
yang juga menginginkan itu terjadi meresponmya dengan mengenggam tangan Nindi
lebih erat. Sepanjang jalan kami bergandengan, tertawa bersama layaknya orang
pacaran. Sesekali Nindi berlari kecil didepan ku, melihat hal itu mengingatkan ku akan kenangan
masa lalu, membangkitkan rasa yang telah terkubur lama, perasaan yang ku
rasakan ketika bersama Nindi tidak bisa ku ungkapkan dengan kata-kata.
Sebentar
lagi kami berdua sampai ditempat bang Dody menunggu, Aku melihat rombongan
pendaki berjalan mengarah ku. Itu adalah rombongan Nindi, mereka bertannya
kenapa Nindi ikut turun bersamaku, Aku menjelaskan kalua seharusnya tempat
ngecamp itu diSavana. Setelah rombongan Nindi berdiskusi, mereka memilih untuk
camp dipuncak, dan artinya aku harus berpisah dengan Nindi. Nindi tidak bisa
menolak kepustusan ketua rombongannya, Akupun mengerti apa yang dia rasakan.
Kepentingan bersama tetaplah diatas segalanya ketika mendaki bersama.
Akupun
harus berpisah dengan Nindi, rasa kesal dalam hati kecilku membuatku menendang
apa yang ada didepanku. Pertemuan yang hanya sebentar namun akan begitu
terkenang, aku berharap bisa bertemu di lain waktu bersama Nindi. Perpisahan
memang menyakitkan, tapi percayalah pertemuan akan lebih menyenangkan. Aku
turun dengan cepat menuju tempat bang Dody menungguku, “Bang sudah lama nunggu?”
sapa ku sambil mengejutkan bang Dody. “Iya bang hull lama banget, kirain
tersesat.” Jawab dody yang terkejut dengan kedatangan ku. “ Hahahah nggak lah
bang, biasa ada view bagus yang sayang buat dilewatkan kan.” Kataku sambil
tertawa.
Kami
berdua melanjutkan perjalanan menuju Savana tempat Yogi, Yoga dan Bayan. Aku
tidak menceritakan soal Nindi kepada bang Dody dan juga yang lainnya. Memendam
bukan berarti merahasiakan, itu adalah hal yang menarik untuk diceritakan
nantinya. Aku dan bang Dody sampai juga Savana, Yogi, Yoga dan bayan langsung
menghampiri ku, mereka mengambil tenda
di keril ku dan mendirikannya. Sepertinya Yogi sudah tidak marah lagi,
aku mengetahuinya ketika dia menyeduhkan secangkir kopi untuk ku. “Nih bang
kopi hitung-hitung sebagai permintaan maaf ku.” ucap yogi yang menyodorkan
cangkir ke arah ku. Aku menerimanya meski sebenarnya aku tak pernah marah
kepada dia.
Tidak
ada sunset untuk hari ini, cahaya alam
yang mulai redup menandakan malam akan segara tiba. Aku memerintahkan Dody dan
Bayan untuk pergi mencari kayu bakar, sedangkan Yogi dan Yoga mengambil air,
Aku menyiapkan makan malam untuk kami berlima. Nasi putih ditambah bakwan
dengan kuahnya habis dalam hitungan detik oleh kami belima malam itu. Nyala api
unggun menghangatkan candaan kami berlima, mendengarkan puisi yang berjudul pie
susu dari bang Yogi, pantun cinta dari bang Dody dan tutorial memakan buah
salak dari Bayan membuat kami tak hentinya tertawa.
Selagi
kami berlima tengah asik didepan api unggun dengan permainan konyol yang kami
mainkan, Aku melihat dua orang cewek yang tengah bertengkar. Aku mencoba
mendekat dan menanyakan apa yang sedang terjadi. “Ada apa ni mbak?” Tanya ku,
“Ini bang dia mau turun sekarang.” Jawab cewek itu sambil menunjuk temennya. Aku melihat jam
tangan ku sudah jam sembilan yang tidak memungkinkan lagi untuk turun, dan aku
menyarankan untuk diam dulu di tenda kami berlima dan mencoba menenangkannya.
Cewek itu tetap bersikukuh untuk turun sendiri namun Aku dan Yogi berusaha
merayu agar diam dulu di tenda kami.
Yogi
berhasil membujuk cewek tersebut untuk tidak turun dan diam dulu ditenda kami.
Yoga langsung mengeluarkan matras untuk cewek itu duduk dan Aku membuatkan dia secangkir teh hangat. Aku dan Yogi terus mengintrogasi cewek tersebut bahwa apa
yang sedang terjadi, sedangkan Bayan mencoba menemui rombongan cewek tersebut. Nama
cewek itu adalah Tata, dia kabur dari rombongannya karena ada masalah pribadi.
Aku memberikannya teh hangat dan roti untuk dimakan, namun dia tidak mau dan
terus menangis. Yogi terus menenangkannya, dengan ilmu keperawatannya dia
berhasil menenangkan cewek itu.
Masalah
datang ketika Tata mengalami gejala hipotermia, tubuhnya menggigil kedinginan
dan nafas yang sesak. Aku langsung merespon dengan cepat, “Yoga ambil jaket di
tasku pakein dia trus, Bayan besarin api unggun, Yogi paksa dia minum air
hangat ini.” Ucapku dengan sigap. Mereka mengikuti semua intruksi ku dan Tata
sudah kembali normal, Aku mencoba menghubungi pengelola bukit ini namun Tata
tidak memperbolehkan kami berlima pergi. Dengan berpura-pura mau kencing, Aku
berhasil menghubungi teman dari Tata dan menyuruhnya untuk menghubungi
pengelola.
Aku
sedikit kesal kepada cewek itu, dia tidak mau makan dan seolah tidak menghargai
kami berlima yang menolongnya. Dia kembali bergejala hipo, Aku menyuruhnya
masuk tenda dan menggunakan sleeping bag. Yogi yang masih sabar tetap berada di
sisi Tata, bahkan dia yang meyuapinya makanan sehingga cewek tersebut mulai
normal kembali. Sudah jam setengah dua belas dan kami berlima masih diluar
tenda, Aku mencoba lagi menghubungi temannya dan menanyakan bagaimana dengan
pengawasnya. Tentu saja aku mulai gelisah karena jika pengelola tak kunjung
datang kami berlima harus rela tidur beralas rumput basah tanpa ada atapnya.
Tepat
jam dua belas malam pengelola baru datang, aku memberitahu semua yang terjadi,
akhirnya Tata dibawa oleh pengelola. Entah dibawa turun atau kembali ke
rombongannya aku tidak peduli, yang terpenting kami berlima sudah lega. Jujur saja kami ikhlas membantu, tapi
cara dia dan sifatnya yang membuat kamk kesal. Malam itu dengan api unggun yang
hanya menyisakan bara saja membuat kami mulai merasakan dinginnya malam. Aku
yang begitu capek memilih masuk tenda dan beristirahat, Dody dan Bayan pergi ke
tenda temannya sedangkan Yogi dan Yoga masih memperebutkan kue pia susu yang
tinggal satu.
Sinar
mentari yang menyialukan mata membangunkan ku pagi itu, membuka resleting tenda
melihat begitu indahnya danau buatan yang ada di depan tenda kami. Pemendangan
yang begitu indah pagi itu dengan padang savanna yang begitu hijau dihasi bunga berwarna kuning membuat ku begitu terkagum. Semua orang tengah asik mengabadikan
momentnya, begitu juga dengan keempat teman ku itu, Aku juga ikut mengabadikan
moment indah ini. Pagi itu tidak ada kegiatan lain yang kami lakukan kecuali
berfoto. Setelah puas kami berlima sarapan dengan pop mie instan rasa
kuah soto dengan minuman jeruk peras.
Kami
turun jam 10 pagi, mengemasi barang dan memastikan tidak meninggalkan apapun
selain jejak. Sesekali kami berhenti untuk berfoto di tengah jalan, mengingat
kejadian semalam membuat kami tertawa kecil di jalan. Tidak terasa kami sudah sampai
base camp pendakian, disitu kami beristirahat sambil menunggu motor dipanaskan.
Kami langsung berangkat pulang tanpa berhenti diamanpun, satu persatu dari kami
berpisah, pertama Bayan, disusul Yoga dan Yogi dan terakhir bang Dody karena
aku kerumahnya untuk mengambil motor. Sesampai dirumah bang Dody aku
beristirahat sebentar untuk mandi dan makan kemudian langsung lanjut pulang.
Perjalanan
ku selesai ketika aku sampai dirumah. Semua kejadian yang aku alami
diperjalanan begitu indah untuk dikenang. Bukit savana daun-daun menyimpan
banyak cerita dan pengalaman yang tidak pernah dapat ku ulangi lagi. Aku rindu
dengan semua itu, masakan ibunya Dody, candaan kami berlima, pertengkaran
dengan Yogi, pertemuan dengan Nindi, puisi pia susu dari Yogi, pengajian umum
dari Yoga, puisi cinta dari Dody dan tutorial makan buah dari Bayan. Aku merindukan
semua itu, pejalan rindu savana daun-daun.
Tiada perjalanan tanpa cerita
Apakah
kamu ingin mati kedinginan, jatuh atau tersesat jika kamu terus melanjutkan
perjalanan ini? Hujan yang tak kunjung reda dengan kabut tebal yang menyelimuti
bukit ini membuat jarak pandang tidak lebih dari setengah meter. Perdebatan
panas membuatku tak merasakan dinginnya ketinggian seribu lima ratus meter
diatas permukaan laut. “Kamu harus memahami kondisi seperti ini.” Dengan nada
membentak dan raut muka yang memerah kata itu terlontar dari mulut Yogi.
Mendengar perkataan itu aku hanya tersenyum dan berkata,“Aku akan terus melanjutkan
perjalanan ini, sebab perjalanan tidak akan ada artinya jika kamu mundur
ditengah jalan.”
Ting….!
Sebuah pesan masuk di hanphone ku. Aku yang sedang mengerjakan tugas kuliah
langsung mengambil handphone sembari mengusap mata yang sudah letih didepan layar laptop seharian. Pesan itu berasal dari teman sepegiat alam ku yang bernama
Yogi, “Bang Rohul, ayok kita pergi muncak ke bukit akhir pekan ini.” Membaca
pesan itu sontak membuat ku merasa senang, karena ingin menyegarkan otak dari
penderitaan anak Fakultas Teknik. Tanpa berpikir panjang aku langsung menyetujui
ajakan itu, “Ayok gii, ke bukit mana nih? Sama siapa aja?” Tanya ku. “kita ke
bukit Savana daun-daun bang, bareng temanku ada dua orang.” Balesnya. Bukit
Savana daun-daun, seingat ku pernah mendengar cerita dari seorang teman ku kalau bukit itu tidak ada menariknya
dan menyarankan lebih baik jagan kesana, tapi aku menghiraukannya karena
menurutku puncak itu adalah bukan hal terpenting dalam sebuah pendakian tapi
bagaimana perjalanan untuk menggapainya itu yang lebih penting.
Pagi
itu aku langsung bergegas menyelesaikan tugas kuliah kemudian mengambil alat-alat
pendakian di gudang yang sudah berdebu karena lama tidak terpakai. Aku
kepikiran untuk mengajak juga teman kampusku yang bernama bang Dody, dia adalah
kakak tingkatku di sebuah Universitas yang ada di Mataram. Meskipun beda
jurusan, namun lagi-lagi alamlah yang mempertumkan ku dengan dia. Selagi mengemasi
barang-barang yang akan dibawa aku menghubungi bang Dody melalui pesan, “Bang
ayok muncak besok.” Ajak ku. Berselang beberapa menit dia baru membalas, “Ayok
bang gas ajak.” Ujarnya. Setelah berbincang-bincang dengan bang Dody kita
sepakat untuk mendaki besok pagi bersama dengan Yogi dan dua orang temannya, aku
pun memutuskan untuk menginap dan mempersiapkan pendaikan itu dirumah bang Dody.
Perjalanan
kali ini sedikit berbeda dari biasanya karena sangat mendadak, namun dengan
tekad yang kuat dan bekal management perjalanan yang aku pelajari di organisasi mahasiswa pecinta alam membuatku tetap percaya diri untuk melakukan pendakian ini. Brem…! Suara motor
Vega R yang sedang dipanaskan bersiap untuk menemani perjalanan kali ini, jam sudah menunjukaan pukul lima sore aku
lansung tancap gas menuju rumah bang Dody. Dengan pakaian biasa yang tidak
terlihat seperti orang mau mendaki
membuat orang-orang sekitar rumah tidak tahu kalo aku akan bergelut
dengan alam bebas dan menantang maut.
Sejam
perjalan aku baru sampai rumah bang Dody, perjalanan yang seharusnya cuman tiga
puluh menitan menjadi begitu lama karena aku tersesat, tapi itu adalah hal yang
sudah biasa dalam sebuah perjalanan. Tersesat akan membuat mu menemukan hal baru
yang tidak pernah kamu cari tahu atau ingin tahu. Dirumah bang Dody kami membahas
kesiapan untuk pendakian besok pagi, malam itu
disuguhkan kopi dan rokok membuat obrolan begitu seru, becanda dan
bernyanyi diiringi petikan gitar yang aku mainkan. Obrolan mulai serius katika aku mengetauhi bang Dody adalah orang
sastra yang menyuaki ilmu filsafat. Banyak sudah yang kami bahas mulai dari teori atom Dalton, buku terakhir Stephen Hawking yang berhudul jawaban singkat atas pertanyaan besar, hingga konsep bumi bulat yang dikemukakan oleh pythagoras. Habisnya rokok malam itu sebagai alarm untuk sudah waktunya tidur, benar saja
ketika melihat jam ternyata jarum jam sudah menunjukkan angka satu.
DOR!
DOR! Aku yang baru setengah sadar mendengar suara gebrakan pintu, ternyata itu bapaknya
Dody yang membangunkan kami untuk sholat shubuh. Dengan rasa ngantuk yang berat
kami mengiyakan seruan bapaknya Dody, setelah itu kami lanjut tidur lagi. Bau
masakan yang begitu lezat menyadarkan kami dari alam mimpi, ayam goreng dan
sayur kelor menjadi santapan sarapan kami pagi itu. Kring….Kring… bunyi telepon
disaku ku. yogi menelpon “ Halo bang, udah jam setengah sembilan ini kita
ketemu dipertigaan jalan dekat mushola.” Mendangarnya Aku dan bang Dody
buru-buru mandi dan bersiap-siap untuk berangkat. Aku yang tengah merapikan
keril mendangar suara bang Dody yang memanggilku.“ Bang ayok cepetan kita akan
jalan.”
Tas
keril yang besar berlabuh dipunggungku,
sepatu gunung, dan topi rimba yang ku kenakan menandakan aku telah siap
memasuki lembah hutan belukar yang liar. Kami berjalan menuju tempat yang sudah
diberitahu oleh Yogi, sesampai disana
aku melihat dua orang kembar yang sedang memopang tas besar, tidak lain itu
adalah Yogi dia bersama saudara kembarnya yang bernama Yoga. “ Gii kok kita cuman
berempat ini satu orang lagi mana? Tanya ku. “ oooh iya satu lagi temen ku udah
nunggu di Rarang nanti ketemunya disuper market sana sekalian kita beli logistik.” jawab yogi.
Berangkat dari Lombok tengah menuju base camp pendakian sekitar satu jam setengah, dalam perjalanan kali ini yang Aku takutkan cuman satu yaitu cuaca yang ekstrim. Kami berhenti disebuah super market tempat dimana temennya yogi menunggu kami. “Bayan…bayan” Suara yogi berteriak, pandangan ku langsung mengarah ke orang yang sedang duduk diatas motor scopy dengan jaket hitam, dia merespon panggilan dari Yogi. “ Wee yogi sini dah lama aku tungguin.” Saut Bayan sambil melambaikan tangannya. Nama temennya itu adalah Bayan, dengan ini tim kami sudah lengkap lima orang, kami berlima patungan untuk membeli logistik makanan, Aku dan bang Dody masuk ke super market membeli semua kebutuhan selama perjalan. Aku, Yogi, Dody, Yoga dan Bayan, perjalanan kami berlima dimuali dari sini.
Kami
berlima brefing dan tidak lupa berdoa untuk keselamatan perjalanan ini sesuai
keyakinanan masing-masing. Karena tidak ada yang bisa menjamin keselamatan mu kecuali Tuhan.
Kami berlima berangkat menuju base camp pendakian, cuaca pagi itu sangat cerah,
di tengah perjalanan temen kuliah ku menelpon dan memberi tahu bahwa saat itu
ada technical meeting praktikum, yang menandakan bahwa praktikum akan dimualai.
Pikiran ku terpecah ketika mengetahui praktikum ku akan di mulai hari senin, tapi
aku mencoba untuk tidak memikirkannya dan menikmati perjalanan ini. Masalah
akan terus datang kepadamu selagi kau masih hidup di dunia ini, dan kau akan
menjadi lebih dewasa jika dapat menyelesaikan dan mengambil pelajaran dari
masalah yang kamu hadapi.
Kami
berhenti di rest area Suela, tempat itu sudah biasa dijadikan tempat
peristirahatan untuk para pendaki. Disana kami beristirahat ngopi sambil
merokok, kami berlima bercanda bareng seolah sudah seperti orang yang berteman
lama, seringkali aku bingung membedakan antara Yogi dan Yoga, bagai pinang yang
dibelah dua mereka sangat mirip. “Onamaehanandesuka?” Ucap Yogi menyombongkan bahasa Jepangnya, “Watashinonamaeha
Bayandesu.” Jawab Bayan. Mereka berdua adalah seorang mahasiswa keperawatan
yang sedang belajar bahasa Jepang dikampusnya, Aku yang tidak mengerti apa yang
mereka omongkan ikut nimbrung. “Cing hau ceq pok lam hee.” Layaknya orang asing.
Sontak semua yang mendengar itu langsung tertawa terbahak-bahak, sampai-sampai
tukang parkir yang sedang meniup pluitnya ikut terawa.
Setelah
beristirahat cukup lama, kami melanjutkan perjalanan menuju base camp
pendakian. Memasuki kawasan hutan Sembalun, langit yang tadinya biru cerah kini
telah ditutupi awan hitam cumolunimbus, gemuruh Guntur sesekali mengagetkan ku.
Hujan mulai turun tapi kami tetap melanjutkan perjalanan, hujannya semakin
besar memaksa kami berhenti sejenak untuk memakai jas hujan. Jalan yang
menanjak dan licin membuat kecepatan motor kami hanya mentok di 20 km/jam. Jalanan tertutup oleh kabut membuat tak henti-hentinya suara kelakson kami
berbunyi bak seperti iringan drum band sekolah.
Kami sampai di base camp dengan raut wajah yang kedinginan, hujan yang tak ada hentinya memadamkan semangat kami. Kami memutuskan untuk menunggu hujan reda baru melakukan pendakian, tiga puluh menit kami menunggu hingga akhirnya hujan reda. Kami langsung bergegas untuk melakukan registrasi pendakian, barang bawaan kami diperiksa satu-persatu untuk memastikan keamanan dan tidak membawa barang-barang yang dapat berpotensi merugikan diri dan orang lain selama pendakian.
Kami
memulai pendakian pukul tiga siang dengan perediksi estimasi waktu perjalanan
menuju puncak adalah satu jam. “Satu jam perjalanan?” Tanya ku seolah tak
percaya, “Iya benar.” Jawab penjaga base camp yang wajahnya mirip sekali dengan teman
rumahku bernama Subhan. Satu jam perjalan tentu saja terasa enteng bagi ku yang
anak Mahasiswa pecinta alam dan sudah turun naik gunung Rinnjani sebanyak lima
kali, namun tidak peduli sepengalaman apapun kamu ketika sudah ditengah hutan
resiko itu akan tetap ada.
Tiga
puluh menit kami berjalan tiba-tiba hujan turun tanpa memberikan aba-aba, Aku
dengan cepat mengenakan jas ujan plastik yang biasa ku gunakan saat naik
gunung, begitu juga dengan empat orang teman ku yang dengan sigap telah
menggunakan jas hujannya. Kami terus berjalan, namun cuaca semakin ekstrim,
hujan yang sangat deras, kilatan petir yang disusul dengan gemuruh suara guntur
ditambah lagi dengan kabut tebal yang menghalangi pandangan kami lemgkap sudah penderitaan pendakian kami kali ini .
Dipunggungan
bukit yang diapit oleh jurang kami berlima mulai cemas, perbedaan pendapat
diantara kami memicu perdebatan. “Apakah kamu ingin mati kedinginan, jatuh atau
tersesat jika kamu terus melanjutkan perjalanan ini?” Tanya Yogi kepada ku.
“Aku tidak ingin hal itu terjadi, tapi aku akan tetap melanjutkan perjalanan
ini.” Tegasku. “Sudah-sudah mending kita tunggu sampai agak mendingan.” Saut
bayan mencoba menangkan Aku dan Yogi. Perdebatan panas membuatku tak merasakan
dinginnya ketinggian seribu lima ratus meter diatas permukaan laut. “Kamu harus
memahami kondisi seperti ini.” Dengan nada membentak dan raut muka yang memerah
kata itu terlontar dari mulut Yogi. Mendengar perkataan itu aku hanya tersenyum
dan berkata. “Aku akan terus melanjutkan perjalanan ini, sebab perjalanan tidak
akan ada artinya jika kamu mundur ditengah jalan.”
Kami
hanya punya dua pilihan melanjutkan perjalanan atau menunggu diatas tebing yang
curam. “Sekarang kalian mau apa? Melanjutkan perjalanan ini yang tidak lebih
dari dua puluh menit lagi atau hanya diam disini dengan resiko kalian
hipotermia, terjatuh kejurang ini, bahkan tebing ini juga bisa ikut jatuh.”
Tanya ku dengan tegas. Aku tidaklah egois, karena aku tau sebentar lagi kami
sampai ketempat yang lebih landai dan bisa mendirikan tenda darurat disitu.
Mereka berempat mengikuti ku untuk melanjutkan perjalanan, Aku langsung
mengambil tali webing dan mengiktakan pada pinggang ku, kemudian aku
memerintahkan untuk melakukan hal yang sama kepada Yoga, Yogi, Dody dan Bayan,
dengan begitu kami semua terhubung dan berkaitan dengan tali tersebut untuk
keselamatan kami berlima.
Aku
berjalan perlahan diikuti oleh mereka berempat dibelakangku, lima belas menit
berjalan melewati tebing yang curam kami sampai ditempat yang landai, disitu
kami mendirikan tenda dan menghangatkan tubuh dengan secangkir minuman hangat.
Setelah cukup lama hujan mulai reda dan langit cerah kembali, Yogi memutuskan
untuk jalan terlebih dahulu bersama Yoga dan juga Bayan, sepertinya dia masih
marah kepadaku setelah kejadian ditebing tadi. Aku dan bang Dody masih santai menikmati
teh hangat dan kuaci sambil menatap alam dari ketinggian yang terlihat begitu
segar setelah diguyur hujan.
Aku
dan bang Dody kembali melanjutkan perjalanan, bang Dody yang sudah terlihat
kelelahan membuat kami berdua berjalan perlahan sambil bersendagurai agar tidak
merasakan lelah. Aku dan bang Dody terhenti disebuah persimpangan jalan, dari
petunjuk jalan yang ku baca lurus untuk ke puncak dan kanan ke savanna. “Bang
kira-kira mereka bertiga camp dimana? Puncak atau savanna?” Tanya ku kepada
bang Dody. Bang Dody yang tidak mendengarkan tetap berjalan lurus kearah puncak
dan Aku pun mengikutinya.
Kring….kring…!
Handphone ku Kembali berdering, Aku terheran tenyata di dekat puncak masih ada
sinyal. “ Halo bang.” Suara Yogi, “ Iya gii kenapa? Ni bentar lagi nyame kok.”
Sautku dengan nada yang merayu, “Sampai mana bang?” Yogi kembali bertanya,
“Puncak lah pakai ditanya segala.” Jawab ku, “Salah bang kita camp di
savananya.” Kata Yogi. Aku memberi tahu bang Dody kalau kita salah jalur harusnya ke Savana bukan puncak, kami berdua
terpaksa turun lagi namun karena top puncak dikit lagi Aku memilih untuk naik
dan menyuruh bang Dody untuk menunggu ku.
Sesampainya
dipuncak aku melihat seorang wanita yang duduk sendiri bersandar di sebuah pohon
cemara, dari kejauhan pancaran wajahnya bersinar membuat ku terpesona. Aku
menghampirinya dan bertanya. “Permisi mbak, kok sendirian ajak?” Dia menjawab
“Iya nih bang aku lagi nunggu rombongan ku.” jawabnya dengan nada halus. Aku
langsung menyimpulkan bahwa dia sama sepertiku salah jalur dimana harusnya ke Padang Savana.
Setelah
panjang lebar ngobrol ternyata nama cewek itu adalah Nindi. Gadis manis
berkulit putih dengan rembut pirangnya membuat ku jatuh hati pada pandangan
pertama. Entah apa yang membuat kami berdua begitu akrab dan obroloan kami
selalu nyambung. Nindi adalah seorang mahasiswa baru jurusan kedokteran. Sosok
yang begitu cantik, ramah, pintar dan cerdas itulah yang aku simpulkan darinya.
Berbincang cukup lama dengan Nindi aku sampai lupa dengan bang Dody yang sedang
menungguku, Aku pun menjelaskan ke Nindi bahwa dia salah jalur sama sepertiku,
dia pun terkejut karena dia sudah lama menunggu.
Aku
dan Nindi turun dari top puncak menuju Padang Savana daun-daun tempat dimana
seharusnya kami ngecamp. Diperjalanan dia tiba-tiba menggandeng tanganku, aku
yang juga menginginkan itu terjadi meresponmya dengan mengenggam tangan Nindi
lebih erat. Sepanjang jalan kami bergandengan, tertawa bersama layaknya orang
pacaran. Sesekali Nindi berlari kecil didepan ku, melihat hal itu mengingatkan ku akan kenangan
masa lalu, membangkitkan rasa yang telah terkubur lama, perasaan yang ku
rasakan ketika bersama Nindi tidak bisa ku ungkapkan dengan kata-kata.
Sebentar
lagi kami berdua sampai ditempat bang Dody menunggu, Aku melihat rombongan
pendaki berjalan mengarah ku. Itu adalah rombongan Nindi, mereka bertannya
kenapa Nindi ikut turun bersamaku, Aku menjelaskan kalua seharusnya tempat
ngecamp itu diSavana. Setelah rombongan Nindi berdiskusi, mereka memilih untuk
camp dipuncak, dan artinya aku harus berpisah dengan Nindi. Nindi tidak bisa
menolak kepustusan ketua rombongannya, Akupun mengerti apa yang dia rasakan.
Kepentingan bersama tetaplah diatas segalanya ketika mendaki bersama.
Akupun
harus berpisah dengan Nindi, rasa kesal dalam hati kecilku membuatku menendang
apa yang ada didepanku. Pertemuan yang hanya sebentar namun akan begitu
terkenang, aku berharap bisa bertemu di lain waktu bersama Nindi. Perpisahan
memang menyakitkan, tapi percayalah pertemuan akan lebih menyenangkan. Aku
turun dengan cepat menuju tempat bang Dody menungguku, “Bang sudah lama nunggu?”
sapa ku sambil mengejutkan bang Dody. “Iya bang hull lama banget, kirain
tersesat.” Jawab dody yang terkejut dengan kedatangan ku. “ Hahahah nggak lah
bang, biasa ada view bagus yang sayang buat dilewatkan kan.” Kataku sambil
tertawa.
Kami
berdua melanjutkan perjalanan menuju Savana tempat Yogi, Yoga dan Bayan. Aku
tidak menceritakan soal Nindi kepada bang Dody dan juga yang lainnya. Memendam
bukan berarti merahasiakan, itu adalah hal yang menarik untuk diceritakan
nantinya. Aku dan bang Dody sampai juga Savana, Yogi, Yoga dan bayan langsung
menghampiri ku, mereka mengambil tenda
di keril ku dan mendirikannya. Sepertinya Yogi sudah tidak marah lagi,
aku mengetahuinya ketika dia menyeduhkan secangkir kopi untuk ku. “Nih bang
kopi hitung-hitung sebagai permintaan maaf ku.” ucap yogi yang menyodorkan
cangkir ke arah ku. Aku menerimanya meski sebenarnya aku tak pernah marah
kepada dia.
Tidak
ada sunset untuk hari ini, cahaya alam
yang mulai redup menandakan malam akan segara tiba. Aku memerintahkan Dody dan
Bayan untuk pergi mencari kayu bakar, sedangkan Yogi dan Yoga mengambil air,
Aku menyiapkan makan malam untuk kami berlima. Nasi putih ditambah bakwan
dengan kuahnya habis dalam hitungan detik oleh kami belima malam itu. Nyala api
unggun menghangatkan candaan kami berlima, mendengarkan puisi yang berjudul pie
susu dari bang Yogi, pantun cinta dari bang Dody dan tutorial memakan buah
salak dari Bayan membuat kami tak hentinya tertawa.
Selagi
kami berlima tengah asik didepan api unggun dengan permainan konyol yang kami
mainkan, Aku melihat dua orang cewek yang tengah bertengkar. Aku mencoba
mendekat dan menanyakan apa yang sedang terjadi. “Ada apa ni mbak?” Tanya ku,
“Ini bang dia mau turun sekarang.” Jawab cewek itu sambil menunjuk temennya. Aku melihat jam
tangan ku sudah jam sembilan yang tidak memungkinkan lagi untuk turun, dan aku
menyarankan untuk diam dulu di tenda kami berlima dan mencoba menenangkannya.
Cewek itu tetap bersikukuh untuk turun sendiri namun Aku dan Yogi berusaha
merayu agar diam dulu di tenda kami.
Yogi
berhasil membujuk cewek tersebut untuk tidak turun dan diam dulu ditenda kami.
Yoga langsung mengeluarkan matras untuk cewek itu duduk dan Aku membuatkan dia secangkir teh hangat. Aku dan Yogi terus mengintrogasi cewek tersebut bahwa apa
yang sedang terjadi, sedangkan Bayan mencoba menemui rombongan cewek tersebut. Nama
cewek itu adalah Tata, dia kabur dari rombongannya karena ada masalah pribadi.
Aku memberikannya teh hangat dan roti untuk dimakan, namun dia tidak mau dan
terus menangis. Yogi terus menenangkannya, dengan ilmu keperawatannya dia
berhasil menenangkan cewek itu.
Masalah
datang ketika Tata mengalami gejala hipotermia, tubuhnya menggigil kedinginan
dan nafas yang sesak. Aku langsung merespon dengan cepat, “Yoga ambil jaket di
tasku pakein dia trus, Bayan besarin api unggun, Yogi paksa dia minum air
hangat ini.” Ucapku dengan sigap. Mereka mengikuti semua intruksi ku dan Tata
sudah kembali normal, Aku mencoba menghubungi pengelola bukit ini namun Tata
tidak memperbolehkan kami berlima pergi. Dengan berpura-pura mau kencing, Aku
berhasil menghubungi teman dari Tata dan menyuruhnya untuk menghubungi
pengelola.
Aku
sedikit kesal kepada cewek itu, dia tidak mau makan dan seolah tidak menghargai
kami berlima yang menolongnya. Dia kembali bergejala hipo, Aku menyuruhnya
masuk tenda dan menggunakan sleeping bag. Yogi yang masih sabar tetap berada di
sisi Tata, bahkan dia yang meyuapinya makanan sehingga cewek tersebut mulai
normal kembali. Sudah jam setengah dua belas dan kami berlima masih diluar
tenda, Aku mencoba lagi menghubungi temannya dan menanyakan bagaimana dengan
pengawasnya. Tentu saja aku mulai gelisah karena jika pengelola tak kunjung
datang kami berlima harus rela tidur beralas rumput basah tanpa ada atapnya.
Tepat
jam dua belas malam pengelola baru datang, aku memberitahu semua yang terjadi,
akhirnya Tata dibawa oleh pengelola. Entah dibawa turun atau kembali ke
rombongannya aku tidak peduli, yang terpenting kami berlima sudah lega. Jujur saja kami ikhlas membantu, tapi
cara dia dan sifatnya yang membuat kamk kesal. Malam itu dengan api unggun yang
hanya menyisakan bara saja membuat kami mulai merasakan dinginnya malam. Aku
yang begitu capek memilih masuk tenda dan beristirahat, Dody dan Bayan pergi ke
tenda temannya sedangkan Yogi dan Yoga masih memperebutkan kue pia susu yang
tinggal satu.
Sinar
mentari yang menyialukan mata membangunkan ku pagi itu, membuka resleting tenda
melihat begitu indahnya danau buatan yang ada di depan tenda kami. Pemendangan
yang begitu indah pagi itu dengan padang savanna yang begitu hijau dihasi bunga berwarna kuning membuat ku begitu terkagum. Semua orang tengah asik mengabadikan
momentnya, begitu juga dengan keempat teman ku itu, Aku juga ikut mengabadikan
moment indah ini. Pagi itu tidak ada kegiatan lain yang kami lakukan kecuali
berfoto. Setelah puas kami berlima sarapan dengan pop mie instan rasa
kuah soto dengan minuman jeruk peras.
Kami
turun jam 10 pagi, mengemasi barang dan memastikan tidak meninggalkan apapun
selain jejak. Sesekali kami berhenti untuk berfoto di tengah jalan, mengingat
kejadian semalam membuat kami tertawa kecil di jalan. Tidak terasa kami sudah sampai
base camp pendakian, disitu kami beristirahat sambil menunggu motor dipanaskan.
Kami langsung berangkat pulang tanpa berhenti diamanpun, satu persatu dari kami
berpisah, pertama Bayan, disusul Yoga dan Yogi dan terakhir bang Dody karena
aku kerumahnya untuk mengambil motor. Sesampai dirumah bang Dody aku
beristirahat sebentar untuk mandi dan makan kemudian langsung lanjut pulang.
Perjalanan ku selesai ketika aku sampai dirumah. Semua kejadian yang aku alami diperjalanan begitu indah untuk dikenang. Bukit savana daun-daun menyimpan banyak cerita dan pengalaman yang tidak pernah dapat ku ulangi lagi. Aku rindu dengan semua itu, masakan ibunya Dody, candaan kami berlima, pertengkaran dengan Yogi, pertemuan dengan Nindi, puisi pia susu dari Yogi, pengajian umum dari Yoga, puisi cinta dari Dody dan tutorial makan buah dari Bayan. Aku merindukan semua itu, pejalan rindu savana daun-daun.
Tiada perjalanan tanpa cerita |
Nicee
BalasHapusDitunggu lagi cerita berikutnya
BalasHapussiap
HapusMasih banyak yg taypo bang
BalasHapusthanks koreksinya
HapusMenarik sih alur ceritanya
BalasHapusKembangkan
BalasHapusBagus
BalasHapusGood, pas baca awal-awal kok ngakak yah, eh ternyata semakin dibaca banyak pesan yg terkandung didalamnya.
BalasHapusKembangkan
Ye gati
BalasHapus